Meninggalkan Kota
Madinah sangat berat rasanya, sholat jum’at adalah sholat fardhu terakhir yang
saya tunaikan di Masjid Nabawi, “Ya
Allah semoga pertemuan ini bukan pertemuan yang terakhir, berilah kesempatan
kepadaku untuk berjumpa kembali dengan Kota Madinah, Masjid Nabawi, dan kembali
dapat berziarah di makam RasurulMu”, demikian sebagian do’a yang kupanjatkan
setelah menunaikan sholat.
Masih dengan menggunakan pakaian Ihram bersama beberapa teman, kami sepakat sebelum keluar dari masjid untuk menyempatkan berziarah ke Makam Rasulullah sebagai ziarah perpisahan, kuluangkan pula waktu berwudhu untuk pertamakalinya di Masjid Nabawi.
Masih dengan menggunakan pakaian Ihram bersama beberapa teman, kami sepakat sebelum keluar dari masjid untuk menyempatkan berziarah ke Makam Rasulullah sebagai ziarah perpisahan, kuluangkan pula waktu berwudhu untuk pertamakalinya di Masjid Nabawi.
Perpisahanpun
harus terjadi, duduk dikursi sebelah kiri sengaja kupilih biar masih leluasa
untuk menatap masjid Nabawi walau hanya menara masjid saja yang dapat
tertangkap oleh lensa mata. Sopir mulai meggerakkan bis, berjalan perlahan
melewati beberapa perataran hotel, dan semakin menjauh meninggalkan hotel tempat
kami menginap, sesekali wajahku kupalingkan kebelakang menatap menara masjid
yang gagah dan agung itu, mata berkaca-kaca sampai akhirnya air mata tak
terbendung juga, saya merasakan dada ini bergoncang menahan tangis.
Waktu berlalu
terasa cepat kecepatan bis pun semakin laju meninggalkan kota Madinah, sepanjang
perjalanan masih terbayang sejuknya subuh pertama di Masjid Nabawi.
Beberapa waktu
kemudian sampailah kami di kompleks Masjid Bir Ali, di Masjid ini kami
melakukan miq’at umrah pertama, puluhan bahkan mungkin ratusan bis jamaah
parkir di kompleks masjid tersebut yang pastinya tujuan kedatangan mereka sama
dengan tujuan kami yaitu miq’at, bisa dibayangkan berapa jumlah orang yang akan
mengunjungi Baitullah saat itu, belum lagi jamaah yang miq’at di tempat lain, Subhanallah.
Setelah miq’at, kami segera kembali ke bis dan melanjutkan perjalanan ke kota Mekkah, Kalimat Talbiyah yang keluar dari bibir setiap jamaah mengiringi perjalanan spritual ini terasa menambah suasana religi yang semakin dalam, terbayang dikepala bangunan Kakbah yang megah, benarkah jasad ini berada di Arab Saudi?, bukankah ini mimpi? Pertanyaan-pertanyaan ini berkecamuk seakan-akan tak percaya tujuan perjalanan ini adalah melihat langsung Kakbah, bangunan sakral dan suci yang dirindukan oleh setiap umat muslim, bangunan yang didirikan oleh Nabiullah Ibrahim as bersama Nabi Ismail as Putranya atas perintah Allah SWT, yang merupakan simbol dan kiblat umat muslim sedunia, Allahu Akbar.
Tidak jauh
berbeda dengan suasana kedatangan kami di Kota Madinah, tiba di Kota Mekkah pun
tepat tengah malam sekitar jam 1 pagi waktu Mekkah. Kota Mekkah Al-Mukarramah
yang ditempuh kurang lebih 6 jam perjalanan dari Kota Madinah tidak kusia-siakan,
“tidak boleh tidur” tekadku dan Alhamdulillah usaha itu setengah berhasil,
sepanjang perjalanan kucoba meresapi perjalalanan Rasurullah bersama para Sahabat
saat menunaikan Umrah maupun Haji pada zamannya, seakan muncul kembali lewat
memoriku kisah-kisah perjuangan Rasul bersama Sahabat yang kudapatkan dari
media TV, saya rasa tidak sia-sia usaha ini menunggu tontonan acara serial
“khalifah” di Trans7 setiap hari sabtu dan minggu pagi, sengaja kugeluti dan
kutunggu acara itu jauh-jauh sebelum perjalanan spritual ini dengan harapan
bisa menjadi bekal dalam perjalananku, sejenak mencoba meraba dan membandingkan
suasana dan kondisi dulu dan sekarang pastilah berbeda namun Iman dan Taqwa
insyaallah bisa diusahakan sama, saya membandingkan dari segi materialnya saja infrastruktur
yang memadai seperti jalan dan transportasi serta akomodasi sangat mempermudah
jamaah untuk menunaikan ibadah umrah ataupun haji, walau demikian kondisi
seperti ini mudah-mudahan tidaklah mengurangi nilai ibadah. Salah satu bangunan
sekitar Masjidil Haram yaitu menara Jam yang konon tertinggi di dunia itu merupakan
salah satu pembeda fisik Kota Mekkah yang belum ada waktu itu, dan menara jam
itu sekarang ada didepan mata, menara itu terasa semakin dekat dengan bis kami,
pertanda jarak perjalanan semakin dekat pula, suasana sedikit kacau karena
ternyata sang sopir bermasalah dengan ketidakdisiplinan mengemudi di jalan,
tidak jelas apa permasalahannya, saya hanya mengamati sang sopir berbincang
dengan polisi dengan nada suara yang sama-sama tinggi dengan bahasa arab yang tidak
kupahami, kejadian ini sedikit mengganggu perjalanan untuk secepatnya tiba,
tapi saya tidak peduli karena dari tempat bis kami diberhentikan pun masih bisa
menikmati pemandangan sekitar termasuk memandang menara jam tersebut dan juga bisa
melihat pantulan sinar lampu yang berasal dari Masjidil Haram walau tidak
begitu jelas. Sekitar setengah jam pak polisi menginterogasi sang sopir dan
akhirnya bis diperbolehkan melanjutkan perjalanan dan beberapa saat kemudian
tibalah rombongan kami di hotel tujuan.
Berbeda di Kota
Madinah, hotel kami di Kota Mekkah lumayan jauh jaraknya dari Masjidil Haram,
sehingga tidak bisa menatap langsung kompleks masjid dari posisi hotel kami
tinggal, kondisi ini membuat penasaran dan menambah keinginan yang semakin kuat
untuk secepatnya menginjakkan kaki di Masjidil Haram, namun keinginan kuat itu
harus diredam sementara karena masih menunggu instuksi dari gaid (guide) yang
mendampingi kami. “Tunggu jam 2 untuk menghindari tumpukan jamaah di Masjidil Haram”,
kata si gaid sambil melirik ke jam tangan yang sudah menunjukkan jarum jam di
angka 01.50.
Rombongan jamaah yang berjumlah sekitar 150 orang dikelompokkan menjadi 4 bagian, berbaris rapih di tengah jalan tepat depan hotel, jamaah laki-laki disebelah luar sisi kiri dan kanan barisan mengapit jamaah wanita, kondisi ini mengingatkan saya pada saat baris berbaris pada jaman sekolah dulu. Kami mulai berjalan seiring bersama 4 kelompok barisan, dan disela membaca kalimat Tahmil, saya berjuang sekuat tenaga untuk menenangkan hati dan pikiran menguatkan niat berharap ibadah ini lancar dan tentunya di Ridhoi oleh Allah SWT. Banyak cerita negatif yang kadang hinggap dan menghantui pikiran dalam mengiringi perjalanan ke Masjidil Haram malam itu dan yang paling menyeramkan adalah konon katanya pernah beberapa jamaah tidak mampu melihat Kakbah walau fisiknya sudah berada dihadapannya, masyaallah, Astagfirullah.
Perjalanan yang
menegangkan tapi menyenangkan demikian yang terasa dalam hati, kira-kira lima
belas menit perjalanan kaki dan tidak terasa akhirnya sampai juga kami di
halaman Masjidil Haram, saya dan beberapa jamaah lainnya yang belum pernah berkunjung ke
Masjidil Haram mungkin merasakan perasaan yang sama, semakin penasaran dimana
letak Kakbahnya, perjalanan berhenti sejenak atas insturksi sang gaid tepat di
depan pintu King Abdul Azis untuk mempastikan jumlah jamaah tetap lengkap,
tidak lama kemudian langkah kami lanjutkan terus masuk ke dalam kompleks masjid
dan semakin masuk ke masjid terasa semakin jantung ini berdebar kencang, saya
berada dibarisan agak belakang sehingga pandangan mata sedikit terhalangi oleh
tubuh jamaah yang ada didepan, menuruni anak tangga membuat langkah kaki agak
lambat apalagi diperparah dengan bertumpuknya jamaah yang saling berpapasan,
tapi situasi itu tidak berlangsung lama, dan perjalanan dilanjutkan hingga
akhirnya rombongan berhenti kembali, gaid memberi instruksi terakhir, disaat
berdiri diam bersama rombongan yang lain kucoba menatap kedepan, mata ini
kubiarkan mencari, ya.... mencari bangunan yang suci “Kakbah” dimana letaknya?
tanyaku dalam hati, hati ini semakin cemas lagi-lagi teringat dengan cerita
negatif tadi, “Ya Allah pertemukan aku dengan rumahMu, biarkan mata ini melihat
dan mengagumi kebesaranMu”, tiba-tiba gaid memberi aba-aba meminta melanjutkan langkah
kami, mata ini masih tetap kubiarkan liar mencari sesuatu yang kurindukan “Kakbah”,
suasana sangat ramai dengan padatnya jamaah di dalam masjid, namun terasa hening dalam
rombongan kami, keheningan itu terpecahkan oleh isak tangis salah satu jamaah yang
membuat saya penasaran, ada apa gerangan, ternyata jawabannya bangunan yang sakral
dan suci “Kakbah” terlihat jelas didepan mata, Subhanallah, Allahu Akbar, “Kakbah
sekarang di depan saya” terucap dibibirku, air mata mengiringi langkah ini
sambil terus berjalan melaksanakan tawaf bersama jamaah dari rombongan kami,
ribuan manusia tumpah malam itu bertawaf mengililingi Kakbah dan Alhamdulillah suasana
malam itu tidak membuatku terasa sesak, segala puji bagimu ya Allah, saya diberikan kesempatan bertawaf menunaikan salah
satu rukun umrah, berkumpul bersama orang-orang yang sangat mencintaiMu dari berbagai
negara yang berbeda.
Satu rangkaian
rukun telah selesai yaitu Tawaf tujuh kali mengelilingi Kakbah, dilanjutkan
sholat sunnat dua rakaat di belakang makam Nabiullah Ibrahim as. Sebelum minum
air zam-zam dan melanjutkan Sa’i serta Tahallul untuk menyempurnahkan Ibadah Umrah,
sejenak kumanjakan mata ini memandang kedepan, kutatap sepuasnya, kupandangi Kakbah
dari segala sisi, sembari kusadari dan kudapatkan jawaban, jawaban yang tidak
bisa dirangkai dengan kata-kata, ternyata inilah yang membuat jutaan bahkan
miliaran umat muslim merindukanmu, bahkan termasuk mereka yang sudah berulang
kali datang kesini namun masih tetap menginginkan kembali lagi, termasuk orang
tuaku, “Mamaku yang tercinta sekarang baru kurasakan perasaanmu betapa engkau
merindukannya, sekarang baru kutahu mengapa engkau selalu semangat dan tak
bosan-bosannya menceritakan kepadaku tentang pengalaman perjalanan Ibadah
Hajimu 30 tahun yang lalu, tentu engkau tak tahan menahan rindu hingga
bersikeras ingin melaksanakan Ibadah Umrah walau engkau sakit, namun taqdir
berkata lain ternyata Allah lebih mencintaimu dan meninggalkan kami semua,
semoga Allah membalas rindu Mama dengan SurgaNya”. Di depan Multazam kusisipkan
do’a untuk kedua orang tuaku, “Ya Allah ampuni dosa kedua orang tuaku,
terimalah amal ibadahnya, Ridhoilah dan tempatkan mereka di tempat terbaik serta
masukkanlah mereka kedalam golongan orang-orang yang Engkau cintai” ... Amin Ya
Rabbal Alamin ...