Kamis, 19 April 2012

Perjalanan Spritual 2


Meninggalkan Kota Madinah sangat berat rasanya, sholat jum’at adalah sholat fardhu terakhir yang saya tunaikan di  Masjid Nabawi, “Ya Allah semoga pertemuan ini bukan pertemuan yang terakhir, berilah kesempatan kepadaku untuk berjumpa kembali dengan Kota Madinah, Masjid Nabawi, dan kembali dapat berziarah di makam RasurulMu”, demikian sebagian do’a yang kupanjatkan setelah menunaikan sholat.
Masih dengan menggunakan pakaian Ihram bersama beberapa teman, kami sepakat sebelum keluar dari masjid untuk menyempatkan berziarah ke Makam Rasulullah sebagai ziarah perpisahan, kuluangkan pula waktu berwudhu untuk pertamakalinya di Masjid Nabawi.

Perpisahanpun harus terjadi, duduk dikursi sebelah kiri sengaja kupilih biar masih leluasa untuk menatap masjid Nabawi walau hanya menara masjid saja yang dapat tertangkap oleh lensa mata. Sopir mulai meggerakkan bis, berjalan perlahan melewati beberapa perataran hotel, dan semakin menjauh meninggalkan hotel tempat kami menginap, sesekali wajahku kupalingkan kebelakang menatap menara masjid yang gagah dan agung itu, mata berkaca-kaca sampai akhirnya air mata tak terbendung juga, saya merasakan dada ini bergoncang menahan tangis.

Waktu berlalu terasa cepat kecepatan bis pun semakin laju meninggalkan kota Madinah, sepanjang perjalanan masih terbayang sejuknya subuh pertama di Masjid Nabawi.

Beberapa waktu kemudian sampailah kami di kompleks Masjid Bir Ali, di Masjid ini kami melakukan miq’at umrah pertama, puluhan bahkan mungkin ratusan bis jamaah parkir di kompleks masjid tersebut yang pastinya tujuan kedatangan mereka sama dengan tujuan kami yaitu miq’at, bisa dibayangkan berapa jumlah orang yang akan mengunjungi Baitullah saat itu, belum lagi jamaah yang miq’at di tempat lain, Subhanallah.

Setelah miq’at, kami segera kembali ke bis dan melanjutkan perjalanan ke kota Mekkah, Kalimat Talbiyah yang keluar dari bibir setiap jamaah mengiringi perjalanan spritual ini terasa menambah suasana religi yang semakin dalam, terbayang dikepala bangunan Kakbah yang megah, benarkah jasad ini berada di Arab Saudi?, bukankah ini mimpi? Pertanyaan-pertanyaan ini berkecamuk seakan-akan tak percaya tujuan perjalanan ini adalah melihat langsung Kakbah, bangunan sakral dan suci yang dirindukan oleh setiap umat muslim, bangunan yang didirikan oleh Nabiullah Ibrahim as bersama Nabi Ismail as Putranya atas perintah Allah SWT, yang merupakan simbol dan kiblat umat muslim sedunia, Allahu Akbar.  

Tidak jauh berbeda dengan suasana kedatangan kami di Kota Madinah, tiba di Kota Mekkah pun tepat tengah malam sekitar jam 1 pagi waktu Mekkah. Kota Mekkah Al-Mukarramah yang ditempuh kurang lebih 6 jam perjalanan dari Kota Madinah tidak kusia-siakan, “tidak boleh tidur” tekadku dan Alhamdulillah usaha itu setengah berhasil, sepanjang perjalanan kucoba meresapi perjalalanan Rasurullah bersama para Sahabat saat menunaikan Umrah maupun Haji pada zamannya, seakan muncul kembali lewat memoriku kisah-kisah perjuangan Rasul bersama Sahabat yang kudapatkan dari media TV, saya rasa tidak sia-sia usaha ini menunggu tontonan acara serial “khalifah” di Trans7 setiap hari sabtu dan minggu pagi, sengaja kugeluti dan kutunggu acara itu jauh-jauh sebelum perjalanan spritual ini dengan harapan bisa menjadi bekal dalam perjalananku, sejenak mencoba meraba dan membandingkan suasana dan kondisi dulu dan sekarang pastilah berbeda namun Iman dan Taqwa insyaallah bisa diusahakan sama, saya membandingkan dari segi materialnya saja infrastruktur yang memadai seperti jalan dan transportasi serta akomodasi sangat mempermudah jamaah untuk menunaikan ibadah umrah ataupun haji, walau demikian kondisi seperti ini mudah-mudahan tidaklah mengurangi nilai ibadah. Salah satu bangunan sekitar Masjidil Haram yaitu menara Jam yang konon tertinggi di dunia itu merupakan salah satu pembeda fisik Kota Mekkah yang belum ada waktu itu, dan menara jam itu sekarang ada didepan mata, menara itu terasa semakin dekat dengan bis kami, pertanda jarak perjalanan semakin dekat pula, suasana sedikit kacau karena ternyata sang sopir bermasalah dengan ketidakdisiplinan mengemudi di jalan, tidak jelas apa permasalahannya, saya hanya mengamati sang sopir berbincang dengan polisi dengan nada suara yang sama-sama tinggi dengan bahasa arab yang tidak kupahami, kejadian ini sedikit mengganggu perjalanan untuk secepatnya tiba, tapi saya tidak peduli karena dari tempat bis kami diberhentikan pun masih bisa menikmati pemandangan sekitar termasuk memandang menara jam tersebut dan juga bisa melihat pantulan sinar lampu yang berasal dari Masjidil Haram walau tidak begitu jelas. Sekitar setengah jam pak polisi menginterogasi sang sopir dan akhirnya bis diperbolehkan melanjutkan perjalanan dan beberapa saat kemudian tibalah rombongan kami di hotel tujuan.



Berbeda di Kota Madinah, hotel kami di Kota Mekkah lumayan jauh jaraknya dari Masjidil Haram, sehingga tidak bisa menatap langsung kompleks masjid dari posisi hotel kami tinggal, kondisi ini membuat penasaran dan menambah keinginan yang semakin kuat untuk secepatnya menginjakkan kaki di Masjidil Haram, namun keinginan kuat itu harus diredam sementara karena masih menunggu instuksi dari gaid (guide) yang mendampingi kami. “Tunggu jam 2 untuk menghindari tumpukan jamaah di Masjidil Haram”, kata si gaid sambil melirik ke jam tangan yang sudah menunjukkan jarum jam di angka 01.50.

Rombongan jamaah yang berjumlah sekitar 150 orang dikelompokkan menjadi 4 bagian, berbaris rapih di tengah jalan tepat depan hotel, jamaah laki-laki disebelah luar sisi kiri dan kanan barisan mengapit jamaah wanita, kondisi ini mengingatkan saya pada saat baris berbaris pada jaman sekolah dulu. Kami mulai berjalan seiring bersama 4 kelompok barisan, dan  disela membaca kalimat Tahmil, saya berjuang sekuat tenaga untuk menenangkan hati dan pikiran menguatkan niat berharap ibadah ini lancar dan tentunya di Ridhoi oleh Allah SWT. Banyak cerita negatif yang kadang hinggap dan menghantui pikiran dalam mengiringi perjalanan ke Masjidil Haram malam itu dan yang paling menyeramkan adalah konon katanya pernah beberapa jamaah tidak mampu melihat Kakbah walau fisiknya sudah berada dihadapannya, masyaallah, Astagfirullah.

Perjalanan yang menegangkan tapi menyenangkan demikian yang terasa dalam hati, kira-kira lima belas menit perjalanan kaki dan tidak terasa akhirnya sampai juga kami di halaman Masjidil Haram, saya dan beberapa jamaah lainnya yang belum pernah berkunjung ke Masjidil Haram mungkin merasakan perasaan yang sama, semakin penasaran dimana letak Kakbahnya, perjalanan berhenti sejenak atas insturksi sang gaid tepat di depan pintu King Abdul Azis untuk mempastikan jumlah jamaah tetap lengkap, tidak lama kemudian langkah kami lanjutkan terus masuk ke dalam kompleks masjid dan semakin masuk ke masjid terasa semakin jantung ini berdebar kencang, saya berada dibarisan agak belakang sehingga pandangan mata sedikit terhalangi oleh tubuh jamaah yang ada didepan, menuruni anak tangga membuat langkah kaki agak lambat apalagi diperparah dengan bertumpuknya jamaah yang saling berpapasan, tapi situasi itu tidak berlangsung lama, dan perjalanan dilanjutkan hingga akhirnya rombongan berhenti kembali, gaid memberi instruksi terakhir, disaat berdiri diam bersama rombongan yang lain kucoba menatap kedepan, mata ini kubiarkan mencari, ya.... mencari bangunan yang suci “Kakbah” dimana letaknya? tanyaku dalam hati, hati ini semakin cemas lagi-lagi teringat dengan cerita negatif tadi, “Ya Allah pertemukan aku dengan rumahMu, biarkan mata ini melihat dan mengagumi kebesaranMu”, tiba-tiba gaid memberi aba-aba meminta melanjutkan langkah kami, mata ini masih tetap kubiarkan liar mencari sesuatu yang kurindukan “Kakbah”, suasana sangat ramai dengan padatnya jamaah di dalam masjid, namun terasa hening dalam rombongan kami, keheningan itu terpecahkan oleh isak tangis salah satu jamaah yang membuat saya penasaran, ada apa gerangan, ternyata jawabannya bangunan yang sakral dan suci “Kakbah” terlihat jelas didepan mata, Subhanallah, Allahu Akbar, “Kakbah sekarang di depan saya” terucap dibibirku, air mata mengiringi langkah ini sambil terus berjalan melaksanakan tawaf bersama jamaah dari rombongan kami, ribuan manusia tumpah malam itu bertawaf mengililingi Kakbah dan Alhamdulillah suasana malam itu tidak membuatku terasa sesak, segala puji bagimu ya Allah,  saya diberikan kesempatan bertawaf menunaikan salah satu rukun umrah, berkumpul bersama orang-orang yang sangat mencintaiMu dari berbagai negara yang berbeda.

Satu rangkaian rukun telah selesai yaitu Tawaf tujuh kali mengelilingi Kakbah, dilanjutkan sholat sunnat dua rakaat di belakang makam Nabiullah Ibrahim as. Sebelum minum air zam-zam dan melanjutkan Sa’i serta Tahallul untuk menyempurnahkan Ibadah Umrah, sejenak kumanjakan mata ini memandang kedepan, kutatap sepuasnya, kupandangi Kakbah dari segala sisi, sembari kusadari dan kudapatkan jawaban, jawaban yang tidak bisa dirangkai dengan kata-kata, ternyata inilah yang membuat jutaan bahkan miliaran umat muslim merindukanmu, bahkan termasuk mereka yang sudah berulang kali datang kesini namun masih tetap menginginkan kembali lagi, termasuk orang tuaku, “Mamaku yang tercinta sekarang baru kurasakan perasaanmu betapa engkau merindukannya, sekarang baru kutahu mengapa engkau selalu semangat dan tak bosan-bosannya menceritakan kepadaku tentang pengalaman perjalanan Ibadah Hajimu 30 tahun yang lalu, tentu engkau tak tahan menahan rindu hingga bersikeras ingin melaksanakan Ibadah Umrah walau engkau sakit, namun taqdir berkata lain ternyata Allah lebih mencintaimu dan meninggalkan kami semua, semoga Allah membalas rindu Mama dengan SurgaNya”. Di depan Multazam kusisipkan do’a untuk kedua orang tuaku, “Ya Allah ampuni dosa kedua orang tuaku, terimalah amal ibadahnya, Ridhoilah dan tempatkan mereka di tempat terbaik serta masukkanlah mereka kedalam golongan orang-orang yang Engkau cintai” ... Amin Ya Rabbal Alamin ...          



Selasa, 17 April 2012

Perjalanan Spritual 1

Tiba-tiba saya terbangun, entah brapa lama pulas tertidur, refleksku melihat sekeliling dari depan kebelakang suasana di atas bis terasa hening, bis masih tetap berjalan walau tidak selaju sore tadi, tirai perlahan kubuka ternyata benar kecepatan bis sangat berbeda dengan beberapa waktu yang lalu, bis berjalan dengan sangat lambat, pemandangan di luar sangatlah menakjubkan, seumur umur baru kali ini melihat langsung suasana kota yang bertebaran dengan gedung-gedung tinggi, ditambah sinar lampu yang mempercantik suasana malam, “ini jam berapa pikirku” kutarik perlahan lengan jaketku biar leluasa melihat jam yang ada di tangan kananku, sedikit bingung melihat jam itu yang menunjukkan pukul 7.15, namun kebingungan itu tidak berlangsung lama karena teringat kalo ternyata saya bukan di Indonesia, kucoba menghitung mundur 5 jam kebelakang ternyata ini sudah jam 2.15 dini hari waktu setempat, sementara bis masih berjalan dengan pelannya seolah-olah sang sopir sedang mengamati sekeliling jalan dan mencari tempat yang akan dituju, suasana masih tetap hening orang-orang di atas bis semuanya membisu entah mereka merasakan seperti yang kurasakan, terpana dan sibuk mengamati pemandangan sekeliling lewat kaca jendela, sesekali keheningan itu dipecahkan oleh suara sang sopir yang sedang berbincang dengan kernetnya, kelihatannya mereka membicarakan hotel yang kami tuju entah mereka bingung atau keliru jalannya, ataukah mereka memperbincangkan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan tujuan perjalanan kami, saya cuma menduga saja karena bahasa mereka tidaklah kupahami. Sepuluh menit kemudian bis bergerak semakin lambat dan sangat jelas di depan kami sekitar 30 meter sudah terparkir beberapa bis yang lain,  dan benar ternyata bis berhenti tepat di belakang bis yang juga satu tujuan dengan kami, satu persatu penumpang turun lewat dua pintu bis, saya memilih pintu depan kanan biar lebih cepat turunnya, disaat kedua kaki sudah menginjakkan lantai trotoar jalan, saya pun tidak ingin menyianyiakan kesempatan melihat sekeliling dengan puasnya, mata ini tertuju pada satu titik sekitar 200 meter pas di sebelah kanan bis, sebuah menara yang  sangat indah menakjubkan dibalik sebuah gedung tinggi, menara itu tidak asing lagi di mataku karena sudah terbiasa melihatnya walau hanya lewat photo dan media TV, Subhanallah saya bisa dengan jelas melihat  Menara “Masjid Nabawi”, melihatnya langsung dengan kedua mataku bukan lewat photo atau TV, ini nyata pikirku sambil kupegang erat tanganku untuk memastikan ini bukan mimpi, tidak terasa air mata ini menetes rasa syukur dan bahagia bercampur jadi satu, bibirku berucap “Subhanallah, Alhambulillah” Trimakasih Ya Allah Engkau telah mengundangku, Engkau telah memberikan kesempatan kepada hambaMu ini untuk menginjakkan kaki di Kota Rasul-Mu, Kota Orang yang Paling Mulia sejagad raya ini, “Madinah Al-Munawwarah” Subhanllah. 

Catatan lainnya :
Perjalanan Spritual 2


 
" Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, SALAM KENAL "
Diberdayakan oleh Blogger.